- "Kamp Pengasingan Moncongloe", Taufik, Desantara Foundation, 2009
- "Penyusupan PKI ke Dalam Media Massa Indonesia, 1948-1965", Sumono Mustoffa dan Mohammad Chudori, Penerbit Adijaya, 1995
- "Amuk Makassar", Institut Studi Arus Informasi, 1998
- "The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68", Douglas Anton Kammen dan Katharine E. McGregor, Asian Studies Association of Australia, 2012
- "The Indonesian Genocide of 1965", Katharine E. McGregor dkk, Springer, 2018
- "The Broken Triangle: Peking, Djakarta, dan PKI", Sheldon W. Simon, Johns Hopkins Press, 1969
Merah Darah di Geladak Phinisi: Situasi Makassar Pasca G30S 1965 (1)

Makassar, IDN Times - Pada Jumat 1 Oktober 1965 pukul 11.00 WIB, sebuah kabar mengejutkan mengudara dari ruang siar Radio Republik Indonesia di Jakarta. Kelompok yang menamai diri Gerakan 30 September (G30S) mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi untuk "menyelamatkan" Presiden Soekarno.
Dalam kesempatan yang sama, kelompok yang dipimpin Letnan Kolonel Untung ini mengaku telah mengambil tindakan pada para Dewan Jenderal. Dewan Jenderal sendiri terdiri dari sejumlah petinggi TNI AD yang dituduh akan menggulingkan kekuasaan Soekarno pada Hari ABRI 5 Oktober 1965.
Di hari yang sama, 14 ribu kilometer dari Jakarta, kota Makassar masih normal. Gonjang-ganjing politik di ibu kota waktu itu memang sudah sering terjadi, terutama dalam beberapa bulan ke belakang. Alhasil G30S yang terdengar dari radio transistor tak lebih dari sebatas kabar politik yang masih simpang siur.
1. Sama seperti di daerah lainnya, warga Makassar baru bereaksi beberapa hari setelah G30S

Keesokan harinya, Sabtu 2 Oktober 1965, Gubernur Sulawesi Selatan waktu itu yakni A.A. Rivai, bersamaan dengan Sidang Pleno Luar Biasa DPRD GR, menyatakan dukungan dan sikap menaati perintah Presiden Soekarno. Dalam kesempatan yang sama, rakyat juga diminta tak melakukan bentuk tindakan separatis apapun.
G30S sendiri luput dari pemberitaan media lokal. Namun, sejumlah surat kabar yang berasal dari Jakarta menurunkan pemberitaan simpatik untuk peristiwa tersebut. Mereka turut andil dalam menerbitkan kebingungan di benak masyarakat tiga hari pasca 30 September. Sejumlah personil militer mulai hilir-mudik di sejumlah jalan protokol. Tak berapa lama setelah sikap Gubernur Sulsel, masyarakat melakukan ronda malam.
Namun pada Senin 4 Oktober 1965, jenazah para Dewan Jenderal ditemukan di Lubang Buaya, tak jauh dari Lanud Halim Perdanakusuma. Dalam keterangan persnya, Mayor Jenderal Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) menyebut dua organisasi underbow PKI, Pemuda Rakyat dan Gerwani, terlibat aksi ini.
2. Gelagat gerakan anti-komunis menyeruak setelah 10 Oktober 1965

Lebih jauh, Soeharto juga secara gamblang menggambarkan secara rinci rentetan "aksi keji" yang diterima para Dewan Jenderal sebelum meregang nyawa. Masyarakat kontan terperanjat sekaligus marah. Namun, hasil visum et repertum yang terkuak empat dekade kemudian menunjukkan sebaliknya. Tak ditemukan pencungkilan bola mata, sayatan atau pemotongan alat vital di tubuh keenam jenderal.
Mendengar keterangan Soeharto, reaksi bermunculan di sebagian daerah. Salah satunya di Makassar. Selasa 5 Oktober 1965, sejumlah organisasi pemuda Sulselra (Sulawesi Selatan dan Tenggara) menyatakan pendirian mendukung penuh pemerintah. Sebaliknya, sikap diam ditunjukkan pihak PKI beserta organisasi underbow-nya. Bom waktu perpecahan telah disulut.
Ketegangan menyeruak di udara Kota Daeng dan seluruh Indonesia. Oleh karena itu pada Kamis 7 Oktober 1965, Wali Kota Makassar saat itu yakni Dg. Patompo menerbitkan larangan berkumpul atau rapat tanpa izin. Dan pada Minggu 10 Oktober 1965, Soekarno menunjuk Mayjen Soeharto menjadi Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).
3. Kader dan simpatisan PKI kemudian "diamankan" demi redakan gelombang kekerasan

Gelagat anti-komunisme menyeruak tak berapa lama setelah penunjukan tersebut. Massa dari berbagai organisasi masyarakat bergabung dengan mahasiswa. Gedung-gedung milik PKI dan organisasi underbow-nya diserang, seperti kantor Central Commisariat (CC) PKI Sulsel di Jalan Bulu Kunyi (kini bagian dari Kelurahan Maricayya).
Juga pada Minggu 10 Oktober 1965, massa mulai melakukan penjarahan di tempat berdagang dan rumah milik etnis Tionghoa lantaran ada generalisasi mereka semua adalah komunis. Pendatang Jawa turut dituduh dengan tudingan serupa. Alhasil pemukiman Jawa di Balang Boddong (kini bagian dari Kelurahan Bungaya) turut dirusak.
Demi meredakan gelombang kekerasan, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan dan Tenggara yang dipimpin Pangdam XIV Hasanuddin yakni Solichin G.P. mengambil langkah "mengamankan" anggota PKI beserta simpatisannya di seantero Sulawesi Selatan. Langkah tersebut kemudian diterjemahkan masyarakat berhak melakukan penangkapan sendiri untuk diserahkan ke pihak berwenang.
(Bersambung)
Referensi :