Kalau kita mau berbicara tentang gender, yang lebih banyak dibicarakan adalah kekerasan terhadap perempuan. Padahal tidak selalu seperti itu. Membuat seseorang dihakimi, merasa tersakiti, tidak nyaman karena gender yang dikonstruksi masyarakat, itu yang dimaksud dengan kekerasan gender. Kebetulan, perempuan yang paling rentan, terutama di media sosial.
Bentuk-bentuk kekerasan gender dalam media sosial adalah cyber hacking, impersonation, stalking/surveillance, cyber harassment, cyber recruitment, malicious distribution, morphing, revenge porn dan sexting.
Beberapa kasus seperti yang terjadi pada FH dan RS -seorang pentolan ormas- (awal 2017). Ini agak sulit karena masih pro-kontra. Tapi menurut saya, ada orang yang tidak suka dengan RS, tapi yang kemudian diserang adalah FH. Sebenarnya urusan mereka adalah urusan pribadi dan sangat personal, tapi kenapa kemudian dibuka di umum?
Secara moral, itu urusan mereka. Tapi yang paling sering disalahkan adalah perempuan. Ariel dituduh melakukan perbuatan asusila padahal saat itu situasinya sangat pribadi.
Jika mau adil, sebenci-bencinya jangan menyeret orang di sekitarnya. Tapi saya kira ini bukan hal yang baru. Perempuan selalu menjadi senjata untuk melakukan kekerasan kadang-kadang.
Coba cek kata makian lokal atau di luar negeri, yang menyebut bagian tubuh perempuan. Semuanya tentang perempuan. Karena ada image di masyarakat kalau perempuan adalah sebuah kehormatan yang dimiliki oleh laki-laki. Kalau kehormatan tersebut direnggut oleh orang lain, berarti si laki-laki tak mampu (melindungi).
Salah satu contohnya pada Konflik Ambon (2000-an) di mana waktu itu santer beredar kabar jatuh korban perempuan hamil yang dianiaya oleh masing-masing pihak yang bertikai. Muncullah kemarahan yang luar biasa karena laki-laki merasa harus melindungi perempuan, jika mereka tidak sanggup melindungi mereka terlihat tidak mampu. Oleh karena itu mereka harus melawan.